"Proses wisuda ini adalah wasilah (perantara), bukan menjadi
tujuan akhir. Wisuda ini menjadi perantara atau gerbang menuju masa depan yang akan
mereka hadapi setalah keluar dari Pondok Pesantren Asshiddiqiyah tercinta ini." ungkap Gus Mahrus kepada para wali santri yang hadir.
“Ya Allah jadikanlah semua amal baik, niat baik, kegiatan-kegiatan
baik para santri-santri kelas 12 menjadi perantara yang baik untuk kesuksesan
yang akan mereka hadapi di masa yang akan datang. Untuk kemudahan dalam
menghadapi masalah di masa yang akan datang. Untuk jalan menuju keridhoanmu di
masa akan datang. Tapi Ya Rabb, jadikanlah semua yang tidak baik selama di
Pondok Pesantren Asshiddiqiyah hanya menjadi kenangan dan semoga mendapatkan
ampunan darimu Ya Rabb. Semoga semua yang tidak baik menjadi kebaikan di masa
yang akan datang.” panjat Khadimul Ma’had mengulangi doa yang beliau pinta
sewaktu ziarah di makam Abah Noer.
Gus mahrus mengakui, bahwa 3 atau 6 tahun bersama angkatan ke 34 ini adalah masa yang indah menurut beliau, karena proses yang mereka lewati amat sulit. Pada awalnya, beliau merasa kurang puas dengan prestasi maupun tingkah laku santri kelas 6. Namun, di akhir masa mereka di Asshiddiqiyah, Khadimul Ma’had sendiri mengungkapkan rasa bangga beliau kepada mereka.
Karena, di samping mengabdi di masyarakat, mereka juga mampu
mengajarkan kitab tafsir Jalalain, kitab
Wasoya, dan kitab Tashilutturuqot yang merupakan kitab
yang turun temurun diajarkan dari Almarhum Almagfurlah Dr. K. H. Noer
Muhammad Iskandar, SQ.
Padahal bisa dikatakan pelaksanaannya spontan dan beliau hanya menyampaikan sekilas dan mereka hanya mendengarkan. Tapi mereka
mampu untuk memberanikan diri dan bersemangat. Ini adalah sebuah uapaya santri
kelas 12 dalam memberikan yang terbaik, ingin memberikan kenangan terindah
kepada pesantren sebelum mereka meneruskan perjuangan di luar sana.
Sembari bernostalgia, Khadimul Ma’had mengatakan kepada para wali santri terkait bagaimana akhir-akhir ini beliau cukup keras kepada santri kelas 12.
“Akan
menjadi suatu rindu bagaimana bisa melihat mereka tahajud, melihat mereka
memimpin istighosah, melihat mereka mengaji, dan mendidik adik-adik mereka. Di
sini akan menjadi suatu rindu, ini akan menjadi teman tersendiri bagi saya dan Ibu Nyai, dan ini yang akan menjadi keberkahan untuk Pesantren Asshiddiqyah.” ungkap beliau dengan haru.
Selain itu, Gus Mahus juga berpesan kepada wali santri agar selalu mendoakan anak-anaknya agar mereka bisa berjuang di luar sana. Karena, perjuangan yang nyata adalah setelah mereka keluar dari pintu gerbang pesantren.
"Tidak ada
mantan santri, tidak ada mantan guru, tidak ada mantan penuntut ilmu. Yang ada hanya melepaskan
untuk melewati masa-masa yang lebih pahit lagi, dan lebih luas lagi. Jangan
pernah takut menjadi santri di mana pun kalian berada dan jangan lupa ngaji,
karena ngaji itu adalah pelipur lara." tegas beliau menyemangati para wisudawan dan wisudawati.
Almagfurlah K.H. Noer Muhammad Iskandar, SQ dulu pernah berpesan, “Ketika kita sedang merasa susah, ketika kita sedang merasa gundah, ketika kita
merasa banyak masalah, jangan-jangan kita lupa mengirim Al-Fatihah untuk para
guru-guru kita dan orang tua kita." imbuh beliau.
Untuk itu, di akhir pidatonya Gus Mahrus berpesan agar para santri selalu berdoa untuk guru-guru dan orang tua serta jangan lupa untuk terus mengaji. (Fera)
0 komentar :
Posting Komentar