“Misalnya
saja dalam ibadah. Ibadah tidak hanya mencakup rukun saja, tapi mencakup syarat-syarat
yang harus dipenuhi. Bahkan dalam syarat ini pun diperinci lagi, apakah ia syarat
wajib atau syarat sah,” imbuh Khadimul Ma’had Asshiddiqiyah Jakarta itu.
Tawaqquf
itu sendiri masuk pada syarat, karena dilakukan sebelum melakukan pekerjaan. Sedangkan al’anah masuk pada rukun,
karena dilakukan di dalam pekerjaan. Setelah masuk pada suatu pekerjaan maka
akan ada ketenangan (al’anah) dalam melakukannya. Ketenangan itu
dihasilkan oleh ketawadu’an. Misalnya, dalam jangka dekat ini akan diadakan
kurban, maka panitia harus mempersiapkannya dari sekarang, seperti dengan
bertanya pada panitia sebelumnya.
“Perbanyaklah
berusaha dan berdoa sebelum Allah memberi keputusan terhadap perkerjaaan.
Karena, jika Allah mengizinkan pasti Allah akan memberi jalan,” ungkap Kiai
alumnus Yaman itu.
Tawadhu’
dalam artian luas adalah meletakkan diri karena mengharap rida Allah SWT,
dengan mengetahui kebesaran-kebesaran Allah dan meletakkan diri pada posisi
yang menurutnya pantas untuk ia duduki.
“Tawadu’
itu dibagi menjadi dua yaitu tawadu’ ‘am (umum) dan khas (khusus). Tawadhu’ ‘am
seperti, merendah dalam hal pakaian, makanan, minuman, tempat dan kendaraan.
Adapun tawadhu’ khas (khusus) adalah mengetahui cara memposisikan diri. Kapan
memuliakan orang lain, kapan merendah (menyamakan) diri,” papar KH Ahmad Mahrus
Iskandar.
Berbeda
dengan sombong yang menjadi lawan dari sifat tawadhu’. Ketika kita tidak
merendahkan dan mengganggap diri lebih tinggi dari orang lain, melainkan hanya
mengharap rida Allah saja, maka itu bukan termasuk sombong. Menjadi orang yang
sederhana (tawadhu’) itu harus pada tempatnya. Jangan sampai dengan sederhana
menyebabakan agama dan harga diri kita direndahkan oleh orang lain.
Jika
kalian mencari harta untuk memperbaiki kehidupan keluarga atau orangtua kalian
agar jangan diinjak oleh orang lain, apalagi orangtua sendiri adalah ahli
ibadah, maka semua itu bernilai berjuang di jalan Allah. Sebagaimana hadis
Rasulullah Saw,
Wa
in kana kharaja yas’a yu’iffuha fahuwa fi sabilillah
Artinya,
jika ia keluar untuk berjuang untuk mencukupi dirinya, maka ia berada pada
jalan Allah.
Ketika
seorang sahabat saat itu ditanya oleh seorang penguasa yang sombong, yang
menanyakan siapa dirinya, maka sahabat itu menjawab, “Kamu adalah air mani, dan
berakhir menjadi bangkai, serta di antara banyak orang saat ini engkau membawa
kotoran.”
“Jangan
mau direndahkan dan diinjak-injak oleh orang lain (dalam konteks agama), bukan
dalam posisi kita yang salah, dan tidak mau mengakui kesalahan,” pungkas Gus
Mahrus. (Robiah)
- Tulisan ini merupakan catatan ringkas Kajian Kitab Minhajul Abidin yang diampu oleh KH. Mahrus Iskandar, B.Sc (Khadimul Ma'had Asshiddiqiyah Jakarta) secara rutin tiap Senin malam.
0 komentar :
Posting Komentar