AMC - Seperti baru kemarin, Ayahanda kita semua, KH.
Noer Muhammad Iskandar memimpin shalat berjamaah dengan dzikir Yasin Fadilah,
al-Waqi’ah, shalawat Thibbil Qulub dan Nariyah, Li
Khamsatun dengan nada Gus Dur, lalu meninggalkan pengimaman sembari membaca
Allahul Kafi (Hizbul Autad). Memandang pengimaman masjid, kembali tampak
Abah Yai yang duduk terlebih dahulu sebelum para santri memenuhi shaf di
belakangnya. Pandangan teduhnya tampak selalu tersenyum ketika berhadapan
dengan shaf santri yang memenuhi masjid, lengkap dengan buku Majmuah
Amaliyah dan kitab turats di genggaman.
Walau wajah menyejukkan tersebut kini tak
dapat lagi dipandang, doa-doa dari anak cucu, sahabat, kerabat, para santri dan
jamaah dimana berada, tak putus-putusnya menghaturkan doa untuk Abah Yai.
Di malam keseratus sejak Abah Yai berpulang,
sendu begitu terasa dalam setiap ayat-ayat dan dzikir yang dilantunkan
bersama-sama. Terlalu banyak teladan yang belum dapat diikuti. Terlalu banyak
kenang yang belum terceritakan oleh lisan.
Seorang sahabat Abah Yai yang berkesempatan
hadir pada Doa Bersama dan Tahlil 100 Hari Mengenang Abah Yai, Kiai
Muhammad Hasan Mutawakkil Alallah menceritakan momen-momen
berharga kala berjuang bersama Abah Yai. Hingga kali terakhir saat di Jakarta,
Kiai Muhammad Hasan diantar Abah Yai ke airport dan berjanji akan datang
lagi ke Jakarta. Saat itu Abah Yai masih rutin menjalani cuci darah.
“Saya berjanji akan datang kembali, namun
ternyata beliau telah mendahului kita semua,” ungkap Kiai Muhammad Hasan
terkait komitmennya untuk hadir pada malam ke seratus ini walau baru sembuh
dari sakit.
Segala sesuatu di dunia ini punya nilai atau
ibrah. Sebagaimana kisah para nabi beserta orang-orang shalih terdahulu yang
diceritakan dalam Al-Qur'an, disampaikan
oleh malaikat Jibril kepada Rasulullah saw., kepada para shahabat, tabiin,
atba’uttabi’in, hingga para ulama, lalu sampai kepada kita. Semuanya
disampaikan tidak lain bertujuan agar dapat diambil ibrah. Firman Allah swt.
dalam Surat Yusuf ayat 111 menyebutkan
"لقد كان في قصصهم عبرة لاولي الالباب"
"Sungguh ada pada kisah-kisah mereka ibrah,
gambaran keteladan bagi orang-orang yang berakal" (QS. Yusuf: 111)
Maka perjuangan Abah Noer semasa hidupnya
dalam bidang dakwah, pendidikan, politik, ekonomi dan lainnya, berulang kali
dikenang bersama-sama. Tujuannya tidak lain sebagai pemantik semangat para
santri untuk melanjut syiar warisan yang amat berharga, yakni Asshiddiqiyah.
Dakwah menaklukan ibu kota ini merupakan
perpaduan dari pengaruh tiga kiai besar dalam diri Abah Yai. Ketiganya tidak
lain, sang ayahanda Kiai Askandar Banyuwangi, sang guru Kiai Mahrus Ali Lirboyo
dan Kiai Adlan Aly Cukir Tebuireng Jombang. Dari tiga tokoh inilah, Abah Noer
diarahkan dan dibentuk untuk menjadi pejuang, sehingga menjadi orang besar dan
mengukir karya besar. Abah Yai menghadirkan kesejukan iman dan Islam dalam
pergaulan metropolitan dan pola fikir masyarakat urban.
Di ibu kota yang tidak ramah ini, Abah Yai
mengajarkan bagaimana santri kudu ikut serta membangun negara. Berdiri
sama tinggi duduk sama rendah dengan komunitas lain. Santri tidak hanya tafakur
di pesantren, tapi juga turut aktif berperan dalam pergerakan membangun bangsa
dari berbagai sisi.
Salah satu kunci yang selalu Abah Noer
tekankan ialah selalu menjaga akhlak santri, berberakhlak karimah dimana pun
berada, kepada siapa pun, dan berperan sebagai apapun. Hal ini Abah Yaicontohkan
dengan sikapnya yang amat ramah, terlebih kepada orang yang bertamu ke kediaman
beliau.
Kiai Muhammad Hasan juga menyebutkan bahwa
setiap tawanya, Abah Noer selalu lepas. “Itu berasal dari kecantikan hatinya,”
tuturnya. Yakni, wajah Abah Yai yang cerah sebab hatinya yang bercahaya.
Melalui syairnya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib
ra. pernah mengatakan:
وَلَدَتْكَ أُمُّكَ ياَبْنَ آدَمَ بــــَـــــاكِيًا—
وَالنَّاسُ حَوْلَكَ يَضْحَكُوْنَ سُرُوْرًا
فَاعْمَلْ لِيَوْمِكَ أَنْ تَكُوْنَ إِذَا بَكَوْا — فيِ يَوْمِ مَوْتِكَ ضَاحِكًا مَسْرُوْرًا
“Wahai anak adam, setelah kamu dilahirkan
oleh ibumu, saat itu kamu menangis
Sementara orang-orang di sekitarmu tertawa
bahagia menyambutmu
Kelak saat dewasa berbuatlah sesuatu
sehingga mereka bisa menangisimu
Ketika hari kematianmu, engkau tersenyum
bahagia karena amalmu.”
Maka kita dapat melihat gambaran syair di atas dengan lahirnya Kiai Noer pada 05 Juli 1955, yang mana sang ayahanda, ibunda, serta keluarga bahagia sebab kelahirannya. Hingga, pada 13 Desember 2020, tak terbendung derai air mata yang mengantarkan kepergiannya. Sedangkan senyum terus terkembang di wajah teduhnya, hingga maqbarah mulia itu menjadi tempat mencurahkan rindu kita semua.
(Laila F)
0 komentar :
Posting Komentar