AMC - Pandemi, oh pandemi. Kapan engkau akan berakhir duhai pandemi? Sejujurnya aku bosan belajar online. Mata cape melotot. Jari jadi keriting. Belum lagi ditanya Mamah. Kok, kuotanya sudah habis lagi? Ah pandemi, kembali ke asalmu sana!
“Ervan!” Tiba-tiba Ustadz Rizal memanggil namaku dari layar gadget. “Ayo baca Fashl Asbab al-Tayamum.”
“Baik, ustadz. Siap!” jawabku dengan penuh percaya diri.
“Ah, sudah belajar bab ini dari kelas satu. Pasti bisa,” pikirku sembari melihat makna di kitab yang jarang-jarang. Diawali dengan bismillah, lalu kubaca, “Fashlun: bermula ini itu kelas!”
Sontak saja, kawan-kawan zoomiyyun tertawa online meramaikan kelas sore ini. Memang dalam pelajaran bahasa Arab, fashlun berarti kelas, sedangkan jika di dalam kitab fikih diartikan sebagai pasal, pemisah materi satu dengan yang lain. Ustadz Rizal tidak marah melainkan menahan tawa melihatku yang tersipu. Aku yang tadi mengantuk langsung tersadar kalau bacaanku melantur.
“Ervan, besok lagi tidur siang. Supaya pas Madin nggak ngantuk begitu.”
“Iya, ustadz. Maaf,” jawabku meringis.
Jadwal hari ini, Senin, adalah mata pelajaran fikih. Kelas 2 (kelas 8 SMP) mempelajari kitab Safinah al-Najah. Untuk melatih kemampuan memahami isi kitab, Ustadz Rizal selalu meminta para murid untuk membaca pelajaran sebelumnya, tidak hanya mengartikan dan menjelaskan pelajaran.
Kelas Madrasah Diniyah kali ini berlangsung secara online. Pukul 16.00 para murid mulai hadir menunggu pelajaran di kelas maya ini. Walaupun online, pelajaran yang diberikan tetap sama.
Asshiddiqiyah, membekali santri-santri dengan kitab-kitab kecil namun menjadi pokok untuk dipelajari para santri. Dalam bidang fikih dibekali dengan Al-Mabadiy al-Fiqhiyyah, Safinah al-Najah, At-Taqrib, dan Sullam al-Najah. Dalam bidang Nahwu dibekali dengan Ajurumiyah dan Imrithy. Dalam bidang akidah dibekali dengan Aqidah al-‘Awam. Dalam bidang akhlak dibekali dengan Akhlaq lil Banin, Akhlaq lil Banat, Washaya, dan Ta’limul Mutaalim. Lathaiful Isyarat dalam bidang ushul fikih juga diajarkan untuk santri kelas 6 (kelas 12 MA).
Selain itu, ketika bulan puasa, pesantren juga mengadakan pengajian kitab khusus. Satu kitab dikaji sampai khatam selama Ramadlan. Di antaranya Hujjah Ahlus al-Sunnah wa al-Jamaah karya KH. Ali Maksum Krapyak, Lubab al-Hadits karya Imam Suyuthi, Ayyuhal Walad karya Imam Ghazali, Syamail Muhammadiyah karya Imam Turmudzi dan masih banyak lagi. Kitab-kitab tersebut dikaji bersama Khadimul Ma’had (bandongan) di masjid.
Walaupun posisi pesantren di tengah ibu kota negara Indonesia yang sangat metropolitan, Almaghfurlah Abah Yai Nur Muhammad Iskandar mempertahankan tradisi pesantren yakni mengajarkan kitab-kitab karangan ulama salaf dan tradisi seperti bandongan, sorogan, memaknai kitab dengan huruf Pegon. Tentu bahasa yang digunakan disesuaikan dengan kondisi Jakarta yang multi-suku, yakni bahasa Indonesia. Maka ketika mengartikan kitab tidak menggunakan utawi iki iku, walau Abah alumni Lirboyo, tapi menggunakan ‘bermula ini itu dst.’
Huruf Pegon pun disesuaikan dengan bahasa Indonesia, sehingga jika ada santri yang sebelumnya sudah pernah mondok di pesantren Jawa atau Sunda, awal-awal tentu akan kaku ketika mendengar maknani/ngelogat dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Memasuki usianya yang ketiga puluh enam tahun ini, Asshiddiqiyah berduka dengan wafatnya Abah Yai Nur Muhammad Iskandar pada Ahad, 13 Desember 2020 pukul 13.41 WIB di Jakarta. Perjuangan semasa hidupnya mendirikan pesantren menjadi teladan dan kenangan yang amat berharga, baik di kalangan sahabat karib, alumni, maupun santri. Semoga keistiqomahan selalu menyertai para santri dalam melanjutkan perjuangan dan warisan besar Abah Yai ini. Abah Yai selalu menjadi teladan dengan mendidik, mengajar, ngopeni santri dari nol hingga menjadi Asshiddiqiyah yang begitu indah.
Lahul Fatihah.
Oleh: Lail
Foto: Dokumentasi Madrasah Diniyah Takmiliyah Manbaul Ulum
0 komentar :
Posting Komentar