Oleh Musni Umar
Kalimat yang pertama saya ucapkan ketika membaca di media sosial, sahabat saya Dr. KH. Noer Iskandar wafat ialah mengucapkan “Inna lillahi wa Inna ilaihi raji’un” (Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kita akan kembali kepadaNya).
Dr. KH. Noer Iskandar, SQ adalah adik kelas saya di Perguruan Tinggi Ilmu Alqur’an (PTIQ). Tidak hanya teman satu sekolah, teman satu asrama, tetapi juga sahabat.
Dulu seluruh mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Alqur’an (PTIQ) adalah utusan dari berbagai daerah seluruh Indonesia.
Untuk diterima belajar di PTIQ harus utusan daerah atau ada rekomendasi dari Kiai yang memimpin sebuah pesantren.
Saya adalah utusan dari Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara untuk belajar di Perguruan Tinggi Ilmu Alqur’an (PTIQ). Jika tidak salah Dr. KH Noer Iskandar memperoleh rekomendasi dari Mahrus Ali, Pimpinan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur.
Merintis Pesantren dari Nol
Sejak Dr. KH. Noer Iskandar masih belajar di Perguruan Tinggi Ilmu Alqur’an (PTIQ) sudah merintis untuk mendirikan pondok pesantren.
Dia banyak keluar asrama dan tidak pernah memberitahu bahwa keluar asrama untuk merintis pendirian sebuah pesantren.
Walaupun KH. Noer tidak tekun belajar dan menghafal Al Qur’an, tetapi lulus dari Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur’an (PTIQ) dengan baik, karena memiliki pengetahuan agama dan Al Qur’an yang mendalam, sebab sejak kecil sudah mondok di pesantren.
Hebatnya KH. Noer setelah menamatkan pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Alqur’an (PTIQ), sudah mempunyai pesantren dan justru mengajak teman-teman tamatan PTIQ untuk mengajar di pondok pesantren yang dia rintis sejak mulai kuliah di PTIQ.
Kehebatan KH. Noer
Dr. KH. Noer Iskandar SQ menurut saya adalah alumnus PTIQ Jakarta yang hebat.
Pertama, gelar sarjana yang diraih di Perguruan Tinggi Ilmu Alqur’an (PTIQ) adalah BA untuk Sarjana Muda dan Drs untuk Sarjana Lengkap. KH. Noer mempopulerkan gelar bagi Alumni PTIQ dengan akronim SQ (Sarjana Al-Qur’an). Tujuannya untuk memberi warna tersendiri bahwa sarjana PTIQ beda dengan sarjana dari perguruan tinggi lain.
Kedua, solidaritas dan empati pada teman sangat besar. Saya mengenang kebaikan dan empati KH Noer pada teman alumni PTIQ. Beberapa tahun lalu saya diundang untuk rapat di kediamannya Kompleks Pondok Pesantren Asshidiqiyah Kedoya, Jakarta Barat.
Sebelum rapat disajikan makan nasi kebuli. Setelah rapat, setiap yang hadir rapat ketika mau pulang diberi bingkisan dan amplop yang berisi uang. Beberapa teman memberitahu kepada saya bahwa teman yang bertemu kepada KH Noer selalu dibantu.
Ketiga, KH Noer juga politisi. Jika tidak salah pernah menjadi Anggota DPR RI dan sangat dekat dengan para pejabat.
Keempat, semua anaknya dikirim belajar di Timur Tengah.
Pada suatu saat, saya tanya mengapa KH. Noer kirim semua anaknya belajar di Timur Tengah? Dia jawab untuk mempersiapkan kader setelah meninggal dunia berbagai pondok pesantren yang dia didirikan akan dilanjutkan. Setiap anak akan memimpin satu pondok pesantren.
Kelima, mendirikan 11 Cabang Pondok Pesantren Asshidiqiyah. Saat ini Pondok Pesantren Asshidiqiyah di Kedoya, dari lahan wakaf yang seluas 2000 meter, telah berkembang menjadi 2,4 hektare.
Selain itu, di Batu Ceper sudah berkembang menjadi enam hektare. Di Cilamaya menjadi 11 hektare, dan yang di Cijeruk menjadi 42 hektare.
Semua cabang-cabang ini sudah dalam perencanaan besar untuk pengembangan Asshidiqiyah masa depan.
Selamat jalan Dr. KH. Noer Iskandar, SQ menghadap Allah rabbul ‘alamiin. Semoga kebaikanmu, perjuanganmu terhadap Islam dan 11 Pondok Pesantren yang engkau dirikan menjadi amal ibadahmu kepada kemajuan Islam, Bangsa dan Negara.
Tulisan ini dimuat ulang dari cerita Musni Umar Sosiolog dan Rektor Univ. Ibnu Chaldun Jakarta di laman arahjaya.com.
0 komentar :
Posting Komentar