AMC -Pondok pesantren selain sebagai tempat menimba ilmu para santri, ia juga sebagai ''stakeholder" penyedia generasi yang nantinya akan menjadi ulama yang disebut dengan nahdlatul mutafaqqihin (kebangkitan para ahli fiqih). Begitulah pandangan Wakil Presiden RI, KH. Ma'ruf Amin ketika mengisi amanat dalam acara Haul Tabligh Akbar di ponpes Asshiddiqiyah, Sabtu pagi (07/03).
Lebih lanjut ia sampaikan, ketika seseorang ingin menjadi muballigh namun tak pernah nyantri, maka apa yang ia dakwahkan nanti tidak akan terarah justru akan menjadikannya salah kaprah.
Sebenarnya, tugas ulama hanya ada dua: Pertama, memperbaiki umat; Kedua, sebagai pewaris para Nabi (al-Ulama Waratsat al-Anbiya').
Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.”(HR. al-Imam at-Tirmidzi).
Pondok pesantren tidak hanya berfungsi sebagai regenerasi, namun juga harus mampu mencetak orang-orang yang paham akan ilmu agama, yang nantinya akan melahirkan tokoh-tokoh yang lebih cemerlang.
Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Oktober setelahnya sudah terjadi pergolakan. Nahdlatul Ulama yang dipimpin KH. Hasyim Asy'ari melalui Resolusi Jihad-nya, pada 22 Oktober menggerakkan massa hingga 10 November. Maka semua santri berjuang demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari para penjajah.
Seiring berjalannya waktu, maka ditetapkanlah 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional oleh Presiden RI, Joko Widodo saat itu. Dengan inilah, para santri dan kiai mengambil peran sebagai penanggung jawab keagamaan sekaligus kenegaraan.
(Mila/Lyda)
0 komentar :
Posting Komentar