AMC - "Tiada tempat yang paling aman untuk anak, kecuali pesantren. Seburuk-buruk anak yang mesantren itu sebaik-baik anak yang tidak mesantren." Begitulah pandangan KH. Ahmad Naufal pengasuh PP. Miftahul Huda Semanan tentang pesantren dan akhlak santri.
Jika menilik sejarah, beberapa Nabi sejak kecil memang dipisahkan dari orang tuanya. Orang tua menginginkan anak mandiri, berhasil dan dewasa maka hendaknya rela memisahkan anaknya sejak dini. Layaknya pohon pisang yang (sejak kecil) sudah dipisahkan dari induk pohonnya. Pun sebagai orang tua agar tak 'main perasaan', dalam artian rela anaknya dipesantrenkan demi masa depannya . Walaupun harus selalu merasakan rindu dan tak rela sebab jauh dari anaknya.
Ungkapan 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya' tidak bisa dijadikan landasan dalam kaitannya kelak anak akan seperti orang tuanya. Semua orang tua berharap anaknya lebih baik dari mereka, baik keilmuannya, akhlaknya, rezekinya dan sebagainya. Maka sebagai orang tua hendaknya meridhai anak untuk menuntut ilmu di pesantren (menjadi santri).
Lalu, kita sebagai santri agar meluruskan niat bahwa mengaji bukan ingin menjadi orang terhormat, melainkan agar dapat menjalani kehidupan dengan benar.
Nah, kehidupan yang benar itu bagaimana? Sudah adakah kepastian bagaimana kehidupan kita setelah kematian? Bahagia atau sengsara?
Bahagia atau sengsara itu urusan Allah swt, selama kita hidup mengikuti koordinat (aturan dan tuntunan Islam) maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mana koordinat kita menuju akhirat? Koordinatnya ialah Al-Qur'an.
Allah swt jelas sudah mengarahkan manusia agar hidup bahagia, dalam firman-Nya :
الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
"Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan." (QS. At-Taubah: 20)
Sebagai santri, jihadnya ialah dengan menimba ilmu dengan baik. Bersungguh-sungguh selama mengaji di pesantren agar dapat mengamalkan Al-Qur'an dan tidak menjadi orang yang merugi. Agar kita tak menjadi manusia yang rugi, dalam ayat lain Allah swt menunjukkan:
وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran." (QS. Al-‘Ashr 1- 3)
Perlu kita ketahui bahwa semakin banyak ilmu seseorang, maka ia semakin berharga. Ditegaskan oleh Burhanul Islam Al Zarnuji, dalam karyanya yang begitu tenar di pesantren, kitab Ta’lim Muta’alim Thariq al-Ta’allum.
تَعَلَّمْ فَإِنَّ الْعِلْمَ زَيْنٌ لِأَهْلِهِ # وَفَضْلٌ وَعُنْوَانٌ لِكُلِّ الْمَحَامِدِ
"Belajarlah, karena ilmu adalah perhiasan bagi pemiliknya, juga keutamaan dan alamat bagi setiap keterpujian."
Jadi, jangan sia-siakan waktu tanpa mengaji (mencari ilmu). Mengajilah hingga akhir hayat, sebab ilmu menghiasi si pemiliknya dan manusia dihargai karena ilmunya.
_______________________________
Ulasan Tausiyah KH. Ahmad Naufal pengasuh PP. Miftahul Huda Semanan dalam Majelis Dzikir Asshiddiqiyah Pusat Jakarta, Sabtu 7 Desember 2019. (Lyda)
0 komentar :
Posting Komentar