AMC - Diantara manusia ada golongan orang yang Allah swt kehendaki
kebaikan padanya. Semua berharap agar termasuk orang-orang yang dikehendaki
oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan tersebut. Tentunya siapapun tak ingin
termasuk orang yang Allah kehendaki keburukan padanya. Lalu siapakah yang Allah
kehendaki kebaikan ?
Rasulullah saw bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ
فِيْ الِّدِيْنِ
“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah swt
akan faqihkan ia dalam masalah agama (ini).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Jika Allah swt tidak menghendaki kebaikan pada seseorang
maka Dia akan mempersulit orang tersebut dalam menuntut ilmu. Sebaliknya,
karena Allah swt menginginkan kebaikan untuk seseorang, maka Allah swt akan
memberi jalan dan memudahkan orang tersebut untuk menuntut ilmu dan memberi
pemahaman padanya. Kefaqihan adalah pemahaman yang Allah swt berikan kepada
seorang hamba. Pemahaman yang lurus tentang Al-Qur’an dan hadits didasari
dengan kebeningan hati dan akidah yang benar. Hati yang dipenuhi oleh hawa nafsu tidak dapat memahami Al-Qur’an
dan hadits dengan benar.
Orang yang
berilmu memandang gurunya
dengan penuh keyakinan bahwa ia orang yang baik, shaleh dan patut menjadi
tempat menimba ilmu sebagai
perantara dirinya dengan Allah swt. Jika seorang guru ridha padanya niscaya
Allah swt berikan pemahaman mengenai ilmu tersebut dan meridhainya. Lakukan
apapun perintah guru selama masih dalam koridor syariat dan tinggalkan apa-apa
yang tidak disukainya hingga ia meridhai tiap langkah muridnya dalam menuntut ilmu.
Namun jika seseorang telah dipandang berilmu, tidak layak
baginya menyalahkan guru yang telah mengajarinya. Sekalipun seorang guru keliru
dalam menyampaikan satu pengajaran, mungkin ia memiliki maksud tersendiri guna
menguji anak didiknya. Sungguh, ketika akal manusia sudah sempurna dan semakin
bertambah ilmunya maka ia tidak akan mudah menyalahkan orang lain. Dengan mudah
menyalahkan orang lain, terlebih terhadap guru maka ilmu yang selama ini dicari
tidak akan memberi keberkahan.
Diriwayatkan bahwa Sirri as Saqathi, suatu hari ia melihat
seseorang minum minuman keras kemudian ia menangis, karena yakin bahwa orang
tersebut ialah wali Allah swt. Ia menyadari jika ia berburuk sangka pada lelaki
itu niscaya Allah swt murka, maka ia memilih berbaik sangka. Karena dengan
sangkaannya dapat sekaligus menjadi do’a bagi orang yang jauh dari jalan Allah
swt untuk berubah menjadi sesuai yang ia sangkakan.
Kebanyakan
dari manusia merasa memiliki, padahal hakikatnya mereka tidak memiliki apapun.
Lalu apa yang akan mereka beri kepada orang lain ? Ada banyak hal yang tidak
disadari manusia. Mereka cenderung memandang orang lain penuh kelemahan.
Padahal seharusnya diri sendiri yang dipandang penuh dengan kelemahan.
Seseorang boleh berpuas hati melihat orang lain, namun tidak dibenarkan baginya
untuk berpuas diri.
Orang yang berilmu mengerti kapan ia harus berbicara. Ia
tahu benar kapan saat yang tepat baginya untuk berbicara dan kapan saatnya diam
dan mendengarkan. Jika memang sudah kapasitasnya, maka ia akan angkat bicara,
juga ia memilih diam dan mendengarkan jika memang bukan kapasitasnya ia ikut
berbicara. Berbeda dengan orang yang banyak bicara, kebanyakan orang yang
seperti itu sedikit ilmunya, seperti kata pepatah “Air beriak tanda tak dalam”.
Oleh karena itu, kita
dapat belajar dari setangkai padi. Semakin ia berisi, semakin ia merunduk.
Manusia yang semakin banyak ilmunya seharusnya semakin ia rendah hati, bukan
malah menyombongkan dan berpuas diri. (Lyda)
0 komentar :
Posting Komentar