|
AIC(JKT) - Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar. Laa ilaha illallahu wallahu Akbar. Allahu Akbar wa lillahil hamd.
Takbir menggema dari segala penjuru dunia, tempat umat muslim merayakan Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1439 H, bertepatan dengan Rabu 12 Agustus 2018. Lantunan takbir terdengar merdu, serta menyentuh hati dimana pun sumber gemanya. Begitu pula dengan muslim di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Berpemandangan puing-puing reruntuhan bangunan, mereka tetap merayakan Idul Adha.
Melihat demikian, santri di ibu kota yang tidak terkena gempa tentu jauh lebih beruntung. Setidaknya ada empat hal yang wajib disyukuri santri ibu kota pada Idul Adha kali ini.
Pertama, santri bersama warga sekitar dapat melaksanakan shalat Idul Adha di masjid dengan rasa aman. Jamaah yang membludak membuat takmir masjid harus membuat shaf hingga ke teras ruang kelas dan aula. Namun, di daerah pengungsian Lombok, seperti dilansir oleh Lensa Indonesia RTV dan Antara News, mereka melakukan shalat Id di lapangan. Kecemasan akan gempa susulan yang dapat meruntuhkan masjid menjadi alasan utamanya. Padahal ada masjid yang masih utuh di dekat pengungsian mereka. Masjid tersebut pun dibiarkan kosong.
Kedua, santri Asshiddiqiyah andil langsung dalam proses pengurusan hewan kurban. Hal ini sebagai bentuk praktek ibadah sebelum turun langsung di masyarakat. Di pengungsian Lombok, tidak ada penyembelihan hewan kurban. Mereka juga masih kekurangan bahan makanan. Kalau pun ada, tidak mencukupi kebutuhan para pengungsi.
Ketiga, sekalipun Idul Adha penuh dengan kegiatan, santri masih dapat berkumpul dengan keluarganya yang menjenguk ke pesantren. Sedangkan diantara para pengungsi Lombok, tidak sedikit ibu-ibu yang menjanda karena sang suami menjadi korban gempa. Banyak juga keluarga yang selamat, namun tinggal di pengungsian yang terpisah dengan berbagai alasan.
Keempat, mengurus hewan kurban tidaklah mudah, juga melelahkan. Pengurusan dimulai dari perawatan, penyembelihan, pemotongan, pendistribusian hingga pembersihan lokasi pesantren pasca kurban. Namun, pesantren adalah tempat yang luas dan nyaman untuk beribadah dan beristirahat dari lelah yang dirasakan. Jika dibandingkan tempat pengungsian yang letaknya berada di lapangan terbuka. Mereka tinggal di tenda-tenda kecil berisi belasan orang. Siang hari panas terik dan angin malam yang dingin mewarnai keseharian mereka. Tikar tipis menjadi alas tidur mereka ditemani rasa was-was akan gempa susulan yang pernah mencapai kekuatan 7,0 SR.
Masjid yang hancur akibat gempa Lombok |
Inilah pelajaran yang dapat kita ambil kawan. Ingat firman Allah, "Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang engkau dustakan?" Kita dan saudara kita di Lombok sama-sama menggemakan takbir. Tapi takbir mereka tak sebahagia kita di ibu kota. Semoga lelah kita di pesantren menjadi lillah. (Lail)
|
0 komentar :
Posting Komentar