Minggu
sore, matahari masih mengerlingkan sinarnya. Lapangan bola di tengah komplek
perumahan rakyat di pinggiran ibu kota itu belum sepi. Hangat masih menemani
keringat Kamal dan lima orang temannya. Sebulat bola futsal sibuk bermain
bersama kaki-kaki lincah mereka. Riuh canda dan sorak sorai meramaikan laga
sederhana itu.
Setelah
melewati satu jam bermain, rombongan remaja kelas dua sekolah menengah atas itu
bergerak ke pinggir lapangan. Tanpa dikomando, serentak mereka duduk melingkar
dan meluruskan kedua kaki. Lelah jelas terlihat ketika masing-masing meneguk
air mineral kemasan botol. Air memang benda yang paling dicari ketika dahaga
menuntut. Bingar senyum terkembang di masing-masing wajah. Maklum, sudah
beberapa bulan mereka tidak berkumpul seperti ini. Sejak memasuki jejang SMA,
pertemuan ini menjadi momen yang di tunggu-tunggu.Sekolah yang berbeda tempat
dan jarak menjadi faktor utama berkurangnya komunikasi di antara mereka. Kamal,
Ridho, Itmam, Agung, Roma dan Ryan. Rumah mereka tidak berdekatan, namun masih
satu kelurahan. Pertemanan ini telah terjalin sejak mereka baru duduk di bangku
sekolah menengah pertama.
“Minggu
depan bakalan sepi nih, Kamal sama Agung udah balik pondok nanti malam,” Ridho
membuka obrolan sambil mengipas-ngipas peluh yang mengalir di lehernya.
“He
he sorry, Bro. mulai besok kami udah mulai persiapan agustusan di pesantren,” ujar
Kamal.
“Agustusan
masih dua minggu lagi kan? Rajin banget kalian berdua,” Itmam mulai nimbrung
setelah membeli beberapa cemilan di warung terdekat, seraya meletakkan
bungkusan makanan di tengah lingkaran duduk mereka.
“Iya
nih, sekolahku juga baru buat racangan aja. Lomba-lomba mah masih tanggal 16-nya,”
timpal Roma.
“Lomba-lomba
yang di lapangan memang masih H-2. Tapi pesantren kami ada lomba rias kelas.
Cuma sampai tanggal 9 kami bisa ngutak-ngatik bentuk kelas. Abis itu yaah ngaji
sama sekolah kayak biasa sambil nunggu pengumuman pemenang di tanngal 17,”
jelas Agung yang satu pesantren dengan Kamal.
“Siiiip!
Rajin banget dah kawan-kawan kita yang santri ini,” ledek Ryan sambil
menyenggol bahu Kamal.
“Biar
di antara kita ada yang jadi ustadz, Bro. Jadi kalo kita belok-belok dikit ada
yang ngingetin. Ha ha ha,” tambah Ridho.
“Amiiiiiin.
Bisa aja kalian, nih,” saut Kamal.
“Ehh
ngomong-ngomong kalo di kelurahan kita bakal bikin lomba apaan buat agustusan?
Hei anggota karang taruna,” Agung melirik ke Ridho yang selalu aktif kegiatan
masyarakat karena sekolahnya masih satu kelurahan. Hanya satu kilometer dari
lapangan tempat mereka ngobrol sekarang.
“Banyak
dong. Dari kelurahan udah nyerahin ke pemuda buat jadi panitia lomba. Kami
bakal bikin lomba yang bisa di ikuti dari anak balita sampe lansia,” papar
Ridho sambil membusungkan dada.
“Gak
usah sok keren deh, Dho. Lansia mau lomba apaan? Kalo kenapa-kenapa sama
nenekku, panitia siap tanggung jawab?”
sergah Roma.
“Ups
jangan salah. Sebagai warga negara yang baik, semua umur kami usahakan bisa
partisipasi buat peringatan kemerdekaan. Buat balita nih, ada lomba merangkak.
Balap sepeda mini buat yang udah TK. Buat anak-anak SD, SMP dan SMA lomba di
masing-masing sekolah. Panjat pinang dan tarik tambang buat laki-laki dewasa.
Sedang cewe-cewe plus ibu-ibu ada lomba masak antar RT dan masakannya nanti
bisa jadi makan besar buat semua warga,” jelas Ridho.
“Terus
yang lansia lomba apaan, Dho?” sahut Agung.
“Oh iya lupa. Nenek-nenek sama kakek-kakek
lomba jadi supporter terheboh pas panjat pinang. Jadi ada juri khusus yang
nemenin mereka nonton gitu.”
“Indonesia
emang kece banget. Sayang aku besok juga
balik asrama. Jadi kita Agustusannya gak bisa bareng,” keluh Ryan.
“Itu
gak masalah. Yang penting dimanapun kita berada, kita tetep ngeramein Hari
Kemerdekaan Indonesia. Cuma Indonesia yang punya lomba-lomba unik kaya gini,”
ucap Agung seraya berdiri mengibaskan celana pendeknya yang berdebu.
“Yups.
Di pesantren kami juga bakalan banyak lomba. Bulu tangkis, futsal, menyanyikan
lagu Indonesia Raya sampai ngambil koin dalam tepung. Nih muka bakalan kaya
anggota pantomime semua nih,” ujar Kamal bersemangat.
“Ha
ha ha ha. Gak belepotan tepung juga wajahmu udah lucu kok, Mal. Ngalahin badut
malah,” canda Ryan pada Kamal yang memang paling suka stand up comedy di antara
mereka.
“Yeeee,
kalo Kamal mah komika ganteng,” sahut Kamal tidak mau kalah.
“Udah-udah.
Emang kenapa sih kita harus repot-repot main tepung, lumpur sampai oli gitu?
Kotor tau, mending lomba yang bersih-bersih aja deh” Itmam coba melerai gurauan.
“Kesannya
sih cuma mainan. Mau kotor-kotoran atau enggak sama-sama bisa menambah rasa
kekeluargaan, persahabatan dan kesatuan kita. Ini tradisi Indonesia yang gak
ada di Negara lain,” jelas Roma.
Agung
pun tak kalah unjuk komentar, “Pesantren juga cuma di Indonesia lho. Kami
sebagai santri juga ikut berjuang. Lomba Agustusan itu cuma bentuk kecil dari
semangat kami dalam mengisi kemerdekaan. Yang utama sebagai pelajar tetap
belajar. Menggali ilmu dan menerapkan akhlak yang baik dimanapun kita berada.”
“Indonesia
memang hebat. Kita semua sama. Sekolah kita boleh beda. Jalan untuk menggapai
cita-cita juga nggak sama. Tapi tujuannnya sama-sama untuk membangun negeri.
Pokoknya ‘aku padamu, Indonesiaku,” tutur Ridho.
“Kok
jadi kaya ST 12 nih,” Ryan berseloroh.
“Ha
ha ha ha ha,” renyah terdengar tawa mereka.
“Dirgahayu
Indonesia ke 72,” sorak serentak itu menggema di tengah anak-anak lain yang juga
turut bermain.
***
Di
sela-sela semarak lomba kemerdakaan, Ridho masih sibuk dengan smartphonenya
untuk live streaming di akun media sosial pribadinya. Bersama para warga, ia kirim
keseruan lomba lewat dunia maya.
“Agustusan
kita nih, mana Agustusan kalian?” sorak para warga di sambut acungan jempol
Ridho selaku kameraman.
***
Semoga
semangat mengisi kemerdekaan ini selalu berkobar dalam hati rakyat di penjuru
negeri. Dirgahayu Indonesiaku. (Laila Fauziah)
0 komentar :
Posting Komentar