Kaki yang dagingnya selalu berkurang
itu tetap melangkah menyusuri panasnya aspal. Serinjing (keranjang dari
bambu) makanan fermentasi dari ubi kayu yang dibungkus dengan daun pisang
menjadi semangatnya beramah tamah pada setiap orang yang lewat di jalan atau
pun yang sedang duduk di teras rumah. Warung ke warung ia hampiri dengan senyum.
“Tapenya Bu, baru matang tadi pagi, lima ratus sebungkus,” ujarnya.
Orang-orang desa senang sekali kedatangan Bu Lek Tin, nama sapaannya. Ibu penjual
tape ini dengan ramah menjajakan makanan yang telah ia buat. Selain rasanya
yang manis, harga yang ekonomis menjadi faktor pendukung yang kuat bagi orang
desa untuk membelinya.
Dagangannya yang cuma satu rinjing di tambah satu sangkek (bahasa
Jawa: tas belanja ke pasar) itu laris manis. Dengan senang hati ia tapakkan
kakinya menuju jalan pulang ke rumah. Lelah tak begitu terasa, padahal aliran
keringat telah membasahi kerudung yang ia kenakan yang panjangnya hanya sebatas
bahu. Kain jarik batik sederhana
dengan warna yang tak lagi cerah itu menjadi saksi perjuangannya. Namun
kini, kain itu tak lagi ia kenakan. Ribet mungkin. Rok-rok seragam sekolah
putrinya yang nganggur karena putrinya telah berganti sekolah pun menjdi
alternatif. ‘Daripada nganggur, orang masih bagus kok’ begitu kira-kira
pandangannya.
Di desa yang katanya dilewati jalan negara itu, ia sering menawarkan
dagangan nya dengan berjalan kaki. Tidak ada angkutan umum yang melintas selain
ojek. Orang desa kebanyakan punya motor sendiri. Sedangkan Bu Lek Tin, cukup
berjalan saja jika ingin bepergian dengan hemat. Sepeda si Bapak tak ia
gunakan, maklum sedari kecil belum bisa mengonthelnya. Senyumnya mengulum
seiring untung yang ia dapatkan dari berjualan sampingan ini. Sekedar membeli
bumbu dan sayur di pasar tiap hari Sabtu pagi di desanya. Sekedar membantu si
Bapak yang juga telah lewat dari setengah abad umurnya.
Si bapak, alias suaminya tengah duduk sambil napas terengah menyambutnya di
serambi dapur. Tangannya masih belepotan tanah dan sisa-sisa rumput basah.
rupanya si bapak baru pulang merumput. Tumpukan rumput dalam ikatan tali yanng
cukup besar telah duduk manis di depan kandang. Sedang Kambing-kambing itu
sibuk mengunyah suguhan daun singkong tua sebagai menu sarapannya. di kandang
itu, peliharaan berkaki empat itu begitu setia pada si Bapak dan Bu Lek Tin
dalam menjalani kehidupan sederhana mereka.
Bu lek Tin yang baru pulang dari pasar itu memanggil si Bapak dan
anak-anaknya untuk sarapan. Tepatnya makan pagi, sekitar pukul setengah sepuluh
mungkin. Salah seorang anaknya yang kemarin baru pulang dari ibu kota, tempat
ia mencari ilmu tak ketinggalan mengisi daftar hadir sarapan kala itu. Kebersamaan
yang begitu sederhana. Tanpa senda gurau yang berlebihan mereka saling menghubungkan
kasih keluarga. Si Bapak yang ahli bercerita seringkali menjadi tokoh utama
dalam perkumpulan itu.
“Itu udah tak tanamin singkong lagi di kebun belakang. Tahun depan kalau
mau buat tape, oyek apa opak pasti sudah siap,” si Bapak dengan bangga mengungkapkan
jerih payahnya.
“Persediaan setahun kedepan?” gumam si anak yang baru pulang dari rantauan.
“Makananku setahun kedepan saja udah dijatah. Singkong lagi? Seperti ini
mungkin yang namanya anak singkong,” pikir si anak sembari tersenyum kepada si
Bapak. Menyenangkan bapaknya.
Si anak hanya nerimo. Mungkin karena memang tak banyak yang belum
bisa ia lakukan untuk membalas cinta kedua orang tuanya itu. Ia hanya kagum
pada ibunya sebagai wanita paling tidak memubadzirkan makanan sedunia. Terutama
dalam mengolah singkong.
Bu Lek Tin hanya menyisakan kulit singkongnya saja yang di pembuangan
sampah. Semua bagian dari singkong tak ada yang tak bermanfaat baginya.
Batang-batang singkong bagian bawah itu ia potong pendek-pendek. Sebelum pulang
ke rumah, semuanya telah ia tancapkan lagi ke tanah supaya tumbuh menjadi tunas
baru. Daun-daun singkong yang tua ia berikan ke kambing-kambing yang tak
berhenti berteriak lapar itu. Sedang daun yang muda ia sisihkan. Lumayan bisa
buat stok sayur dapur hari ini. Setiap pulang dari mencabut singkong untuk diolah
menjadi tape, Bu Lek Tin dengan telaten memisahkan bagian singkong yang muda
dengan yang sudah hampir menjadi akar. Potongan Singkong yang dekat dengan
akar, biasa ia sebut cikalan dengan bebas bertebaran di halaman belakang
rumah. Ayam-ayam telah bersiap-siap menyantapnya dengan semangat.
Dua hari selanjutnya, hingga hari-hari berikutnya berjualan tape menjadi
kegiatan rutinnya jika singkong-singkong di kebun belakang rumahnya tubuh dengan
subur. Sekalipun tak seberapa, itu membantu semangatnya dalam mendidik
anak-anaknya. Ia hanya lulusan sekolah rakyat tahun 60-an. Namun hatinya begitu
teguh mendukung si Bapak menyekolahkan anak-anaknya dengan peluh keringat yang
luar biasa. Mewujudkan keinginannya bersama sang suami. ‘Semoga anak-anakku
bisa kuliah semua. Setidaknya ada satu yang lulusan pesantren’ begitulah
kira-kira keinginannya pada suatu waktu yang telah lampau.
***
Angin senja ibu kota tengah sibuk menggelitik benak pikirannya. mega merah
yang tersenyum itu menemani si anak perempuan yang tengah berkeluh rindu pada
ibunya, Bu Lek Tin.
“Kapan aku bisa menyenangkan ibu ku,” ujarnya pada kesunyian itu. Ia hanya
bisa mengingat kisah perjuangan ibunya dalam mendidik dan mengajarinya tentang
cara mendekatkan diri pada yang Maha Hidup. Ia hanya mampu tersenyum untuk
ibunya. Tidak banyak. Ilmu yang ia dapat kini belumlah sepadan di banding semua
yang telah sang ibu berikan padanya.
Seraya memohon restu pada Sang Pemilik Kuasa, ia tuliskan kisah sederhana
itu dalam ruang kata. Sebentuk kado rindu untuk sang ibu. Bukan tak mampu
berbicara, hanya saja rindu itu tak mudah berkata dengan sendirinya.
***
Selamat Hari Ibu, Mak. Selamat Hari Ibu Wahai Dunia. Semua ibu di dunia ini
adalah cinta yang sesungguhnya.
By : Laila Fauziah
0 komentar :
Posting Komentar