Dr. K.H. Noer Muhammad Iskandar SQ, dikenal sebagai da’i di salah satu Televisi Nasional. Beliau juga pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Asshiddiqiyah. Sebuah lembaga pendidikan yang kini memilik 11 cabang di dalam dan luar kota, dengan memadukan system pembelajaran klasik dan modern.
Pria kelahiran Banyuwangi
5 Juli 1955 ini dari pasangan Kyai Iskandar dengan Nyai Rabiatun. Kiai Noer
memulai pendidikannya di pesantren tradisional Jawa Timur untuk kemudian
sekolah di Jakarta dan mengembangkan pondok pesantren di kota besar dengan
karakter budaya yang berbeda dengan kultur dasarnya. Karenanya, ketepatan
pengetahuan akan peta sosiologis daerah akan sangat menentukan efektif tidaknya
dakwah yang disampaikan. Makin rendah pengetahuan seorang santri akan peta
simbolik masyarakat kota, akan tipis kemungkinan baginya untuk diterima dalam
kelompok sosial yang di hadapinya.
Melihat sosok Kyai Noer
Muhammad Iskandar, kita bagai menyaksikan suatu fenomena “perpindahan
kebudayaan atau migrasi kultural. Gejala migrasi ini berlangsung intensif pada
sejumlah anak pesantren yang lain. Kiai Noer bukanlah contoh sendirian dalam
hal ini. Ada ratusan, bahkan mungkin ribuan, anak pesantren yang usai
menyelesaikan pendidikan di lembaga tradisional itu “menyeberangi” sekat kultur
dan geografis yang memisahkan mereka yang tinggal di desa dari alam perkotaan
dengan cara pindah atau merantau ke kota-kota.
Posisi seorang kyai,
menurut KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ persis seperti seorang sopir yang harus
menjalankan mobil dengan lima gigi. Ia hanya menghitung secara pas kapan harus
berjalan dengan gigi satu, dua, tiga, empat hingga lima. “Keterampilan untuk
“pindah” secara cepat dari gigi satu ke gigi lain dituntut begitu rupa agar
jalannya mobil tidak terhentak-hentak dan membuat penumpang di dalamnya
mengalami kejutan simbolik,” dalih Kyai Noer saat ditemui seusai peluncuran
bukunya Pergulatan Membangun Pondok Pesantren, di rumah makan Ayam Bakar Wong
Solo, beberapa waktu lalu, didampingi istri tercintanya, Ibu siti Nur Jazilah.
Yang Unik dari tokoh ini
adalah, ia mendirikan sebuah pesantren seperti dalam tradisi “intelektualisasi”
santri-santri Jawa. Artinya, ia tidak saja berhadapan dengan publik atau
audiens yang seluruhnya abstrak dan anonim, tetapi juga suatu publik yang
kongkret, yaitu para santrinya sendiri.
Dalam kasus tertentu,
Kyai Noer Muhammad Iskandar ini juga terlibat dalam bimbingan haji
bagi kalangan elit dan menengah. Orang-orang yang dibimbing tidak jarang adalah
seorang artis atau tokoh tertentu yang sudah sejak lama membangun perkenalan
pribadi dengannya.
Perjalanan panjang
Upaya membangun pesantren
di ibukota bukan tanpa perjuangan. Perjalanan dan perjuangan panjang pun harus
dilalui dengan berbagai tantangan yang berat. Namun berkat dukungan dan
dorongan yang begitu kuat dari Kyai Mahrus Ali, Pimpinan Pondok Pesantren
Lirboyo Kediri, Kyai Noer Muhammad Iskandar, SQ pun berhasil. “Ia banyak membuka wawasan
dan cakrawala berpikir saya akan pentingnya pendidikan bagi peningkatan
kualitas sumber daya manusia,” kata Kiai Noer tentang Kiai Mahrus Ali.
Bukan hanya itu, dalam
upaya membuka cakrawala berpikir dan memahami Al Quran, umumnya metode yang
diterapkan di pesantren-pesantren berkembang dengan pendekatan dogmatis.
Akibatnya, pemahaman Al Quran sebagai way of life seringkali menjadi terbatas
dipahaminya, yaitu hanya menyentuh aspek ubudiyah. Sementara di sisi lain,
kelompok akademisi yang berbasis di kampus sekuler, memahami Al Quran dengan
pendekatan resionalistik.
“Mereka menempatkan Al
Quran sebagai objek kajian akal, sehingga ayat-ayat yang tak mampu disentuh
akal pikiran mereka, dengan mudah dipangkas. Bahkan ada kecenderungan, ketika
dogma Al Quran harus bersinggungan dengan budaya lokal, tidak segan-segan
kelompok ini mengalahkan dogma Al Quran,” katanya.
Kondisi inilah yang
memperkuat dirinya untuk tidak bergabung dengan pondok pesantren, baik yang
didirkan ayahnya, Kiai Iskandar, maupun di Pesantren Lirboyo kediri sebagai
staf pengajar, melainkan ia merantau ke Jakarta untuk kuliah di Perguruan
Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ).
Dari perjalanan waktu yang
dihabiskan di PTIQ, Kyai Noer Muhammad Iskandar menarik kesimpulan bahwa seorang
santri harus bisa membuka wawasan yang seluas-luasnya, untuk memahami
simbol-simbol Al Quran lebih dari sekadar pemahaman ubudiyah. Begitu banyak
ajaran Al Quran yang sampai kini belum tergali, dan tak akan pernah selesai
tergali sampai kiamat. Maksudnya, bukan sekadar menggali atau mengkaji. Tapi
esensi dan pemahamannya harus dikembalikan kepada langkah-langkah aktualisasi
dalam kehidupan sehari-hari.
Pernikahan tanpa persiapan
Pria kelahiran Sumber
Beras, Banyuwangi, Jawa Timur 5 Juli 1955, ketika usianya memasuki 27 tahun,
tepatnya tahun 1982, Allah membukakan jodoh baginya. Kyai Noer Muhammad Iskandar
menikah dengan Ibu Hj. Siti Nur Jazilah, putri KH. Mashudi, asal Tumpang, Malang,
Jawa Timur. Ibu Hj. Nur Jazilah pernah memimpin pondok pesantren putri Cukir, Tebuireng,
Jombang, Jawa Timur.
Pernikahan ini tanpa
persiapan yang matang dan tanpa proses yang panjang. Pernikahan itu berlangsung
khidmat. “Saya yakin, pernikahan ini karena memang panggilan Allah. Karena,
terjadi ketika saya datang bersilaturahmi ke guru saya Kiai Mahrus Ali. Ia
menyarankan agar saya segera menikah. Buat saya yang sudah berusia 27 tahun
dikatakan telah wajib untuk menikah,” tutur KH Noer Muhammad Iskandar.
“Perjuangan hidup saya
yang masih panjang membutuhkan seorang pendamping yang sejalan. Al hasil, saya
menikah lebih banyak didasari pertimbangan nasihat guru. Bagi saya ini sebuah
kehormatan dan saya pun mengamininya, Sam’an wa thaatan,” ujarnya yakin.
Bagi KH. Noer Muhammad
Iskandar, ada satu nasihat yang diberikan Kiai Mahrus Ali saat memberi khutbah
nikah yang sampai sekarang menjadi renungan bagi dirinya, yaitu agar ia tidak
kembali ke Banyuwangi atau ke Tumpang. “Saya juga tidak diperkenankan mengabdi
di Lirboyo. Inti Nasihatnya saya harus kembali ke Jakarta,” paparnya.
“Sebagai seorang santri,
saya dengarkan nasihat itu, meski tanpa bekal persiapan yang matang. Seminggu
setelah pernikahan, saya kembali ke Jakarta bersama istri. Saat itu sebetulnya
saya tidak siap. Jangankan tempat tinggal, untuk makan sehari-hari pun tidak
ada gambaran yang jelas. Karenanya, hari-hari pertama kedatangan kami di
Jakarta hanya bergantung pada teman-teman,” ucapnya jujur.
Ketika itu ia hidup dari
satu rumah teman ke rumah teman lainnya, dengan alasan ingin memperkenalkan
istri kepada teman-teman yang ada di Jakarta. Hampir satu minggu kami
berkeliling ke teman-teman. “Akhirnya, kami pun harus memiliki tempat yang
tetap setidaknya untuk istri. Dengan sangat terpaksa saya bicara dengan
keponakan saya, Dra Marsidah Tahir, meskipun belum berkeluarga, tapi sudah
punya kontrakan di Kampung Utan, Ciputat. Di sinilah istri saya titipkan,
dengan alasan bisa menemaninya sebagai teman bicara dan berbagi cerita,
sementara saya melakukan sesuatu yang bisa saya kerjakan,” kilahnya.
Dari Al-Muchlisin ke
Asshiddiqiyah
Bersama dengan beberapa
teman, KH. Noer Muhammad Iskandar mendirikan Yayasan Al-Muchlisin di Pluit.
Berbagai kegiatan pendidikan yang sudah mulai dirintis, terus ia tangani dengan
sepenuh hati. Bahkan, kegiatan yang berawal dari remaja Masjid Al Muchlisin ini,
telah berkembang menjadi madrasah Diniyah, yang lambat laun mulai mendapat
simpati masyarakat. Bukan hanya itu, undangan ceramah juga mulai berdatangan
kepada dirinya.
“Setelah tiga bulan istri
dititip pada keponakan, akhirnya dengan berbekal rezeki dari Allah saya mulai
mengontrak rumah di bilangan Kebon Jeruk. Rasa terima kasih kepada Mursidah
saya rasa tidak cukup, tapi itu adalah sebuah kenyataan yang suka atau tidak
telah menjadi warna-warni perjalanan hidup keluarga kami,” cetus Kiai Noer.
Bila Allah ingin mengangkat derajat hambanya, ternyata tidak memerlukan waktu
yang lama. “Sahabat saya Ir H Bambang Sudayanto, Kepala PPL Pluit, datang
kepada saya. Ia bercerita tentang sukses pekerjaannya yang terkait dengan
Pantai Mutiara Indah Kapuk. Kedatangannya kali ini ingin berterima kasih atas
doa saya, ia bisa meraih sukses dengan pekerjaaannya. Sebagai ungkapan
terimakasih, ia memberikan saya sebuah kios kecil di Pluit dan biaya untuk saya
berangkat haji. Hadiah ini sangat mengharukan saya. Air mata pun tak terasa
menetes. Ya Allah, Engkau telah membuka jalan kami,” ungkap Kiai Noer.
“Rupanya, sesuatu yang
saya anggap besar, masih ada yang lebih besar. Ketika saya akan mengurus
keberangkatan haji atas biaya dari H Bambang tahun 1983, pendaftaran sudah tutup.
Namun saya tidak mau menunda keberangkatan, karenanya saya menemui kawan lama H
Rosyidi Ambari, Asisten Menteri Agama saat itu,” kenangnya.
“Alangkah terkejut ia,
karena memang sudah lama mencari-cari saya untuk diminta mengelola sebidang
tanah di Kedoya untuk dijadikan lembaga pendidikan. Tanah ini diserahkan
keluarga H Jaani kepada H Rosyidi untuk dibangun menjadi lembaga pendidikan
Islam.
Untuk memberikan jawaban,
seperti biasa KH. Noer Muhammad Iskandar harus menunggu isyarat langit,
istikhoroh. Isyarat yang ia dapatkan menunjukkan lahan itu memang baik dan
prospektif. Meski begitu kepada H Rosyidi ia masih belum memberi jawaban
menerima atau menolak. ia tetap akan menjawab tawarannya setelah kembali dari
tanah suci. Saat itu ia baru memiliki satu orang anak, Nyai Hj. Noor Eka Fatimatuzzahra.
Dalam hati kecilnya selalu bertanya kepada Allah, inikah yang disebut
anugerah-Mu, Ya Allah.
“Untuk urusan yang besar
ini peran Istri menjadi begitu besar, ia ikut menjaga lingkungan saya agar
tetap tenang dalam mengambil keputusan, sehingga tidak salah langkah. Istri
saya ibarat air yang selalu memberi kesejukan hidup kami. Ia juga memberi andil
untuk hal-hal yang tidak dapat saya jangkau. Terutama dalam mendidik anak-anak.
Bukan hanya itu ia juga bisa dijadikan teman berdiskusi yang baik untuk hal-hal
besar yang saya pikirkan,” tuturnya.
“Setelah mendengar
berbagai pertimbangan dari beberapa kiai dan guru-guru saya, semangat saya
memang semakin mantap. Maka pada tahun 1884, saya memutuskan menerima tawaran
itu. Saya menyatakan menerima itu kepada H Rosyadi Ambari. Namun ia membawa
saya ke rumah H Djaani, sehingga lahan seluas 2000 meter wakaf H Djaani yang
tadinya dipercayakan kepada H Rosyadi Ambari dialihkan kepada saya,” jelas Kyai Noer
Muhammad Iskandar.
Langkah pertama yang ia
tangani adalah membangun mushola kecil dari tripleks. Modal membangunnya dari
bapak H Abdul Ghani, Putra ketiga H. Djaani. Seperti kisah sukses pada umumnya
Asshiddiqiyah pun merintis dengan keprihatinan, namun dalam keprihatinan ini ia
punya keyakinan yang cukup kuat, bahwa kelak lembaga pendidikan ini akan bisa
maju dan berkembang.Bahkan kini, di Kedoya, dari lahan wakaf yang seluas 2000
meter, telah berkembang menjadi 2,4 ha, yang di Batu Ceper sudah berkembang
menjadi enam hektare, yang di Cilamaya menjadi 11 Hektare dan yang di Cijeruk
menjadi 42 hektare. Semua cabang-cabang ini sudah dalam perencanaan besar untuk
pengembangan Asshiddiqiyah masa depan.
“Bersama tokoh pendidikan
dan para pengajar di Asshiddiqiyah, saya mencoba memikirkan masa depan
pendidikan yang dibutuhkan masyarakat. Pertumbuhan yang begitu pesat,
semata-mata karena keikhlasan semua orang yang terlibat di dalamnya,” ujarnya
seraya bersyukur. (Admin)
1 komentar :
Terimakasih informasinya ya
Posting Komentar