AIC(JKT)
Mudik bisa dilihat dengan banyak cara dan didekati dari beragam sudut
pandang seperti agama, budaya, sosial, ekonomi, politik, dan filsafat. Mudik
memang berkaitan langsung dengan agama Islam kerena terjadi pada saat umat
Islam hendak mengakhiri kewajiban agama yaitu puasa Ramadhan. Mudik merupakan
bagian integral dari perayaan hari raya Idul Fitri yang terkait langsung dengan
puasa Ramadhan.
Jika ada yang bertanya mengapa mudik tidak terjadi di tempat lain yang
juga merayakan Idul Fitri, atau kalaupun ada mudik tetapi tidak semasif dan
seheboh di Indonesia yang sampai melibatkan Negara? Mudik adalah peristiwa khas
Indonesia. Dimana mudik adalah tradisi yang berkembang di Indonesia sejak lama.
Hal ini berarti mudik merupakan sebuah
tradisi agama yang berkaitan dengan budaya.
Sangat banyak penjelasan tentang asal muasal dan makna mudik. Sebagai
sebuah gejala sosial, siapapun bebas memberi penjelasan dan makna mudik. Orang-orang
tua menjelaskan bahwa mudik atau pulang kampung itu hanya dilakukan oleh
orang-orang Jawa yang pada awalnya tinggal di daerah perkebunan. Kata
orang-orang tua, dulu orang Belanda sebagai majikan yang menguasai perkebunan,
yang membawa paksa orang Jawa ke Sumatera sebagai buruh kontrak memang sengaja
mengatur agar orang Jawa kembali ke kampung saat lebaran. Nanti ketika kembali
ke perkebunan mereka diharapkan membawa saudara atau tetangganya sebagai
pekerja baru. Begitulah sejarah mudik pada mulanya.
Dalam konteks mudik, kita tahu ada sejumlah pendapat yang berkembang
untuk menjelaskan dan memaknainya. Sejumlah agamawan berkeyakinan bahwa mudik
merupakan bagian yang harus dan niscaya dari ritual puasa Ramadhan. Agar puasa
Ramadhan memiliki makna dan mencapai kesempurnannya, disamping mengeluarkan
zakat, kita juga harus meminta maaf dan memaafkan orang-orang yang penting
dalam hidup kita. Terlebih meminta maaf pada kedua orang tua dan
saudara-saudara dekat serta para tetangga. Artinya silaturahmi untuk saling
memaafkan merupakan suatu cara untuk menyempurnakan puasa. Oleh karena itu
kebanyakan kita yang masih memiliki kedua orang tua yang mukim di kampung
halaman, maka mudik untuk bertemu mereka merupakan keharusan.
Walaupun ada sebuah hadits yang menyatakan
bahwa safar atau mudik merupakan bagian daripada adzab (siksa).
Karena orang yang menjalani safar akan sulit makan-minum dan tidur. Bahkan
segala yang dicintai sementara akan ditinggalkan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah
yang berbunyi:
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ ، يَمْنَعُ
أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ ، فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ
فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Safar
adalah bagian dari adzab (siksa). Ketika safar salah seorang dari kalian akan
sulit makan, minum dan tidur. Jika urusannya telah selesai, bersegeralah
kembali kepada keluarganya.” (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927).
Terlepas daripada itu, sebetulnya banyak sekali hikmah yang akan kita
temukan dalam perayaan mudik itu sendiri, diantaranya adalah mengasah kepekaan, melatih jiwa
kepemimpinan, membuka cakrawala berfikir,
meluaskan pandangan, menambah wawasan, menghadirkan kecintaan pada saudara dan
keluarga, menambah keimanan dan makin merasakan besarnya kekuasaan Allah `azza
wa jalla. Karena itu lakukanlah perjalanan, niatkan semua untuk mendapatkan
hikmah kebaikan. Bukan sekedar berjalan atau bepergian, bukan sekedar
melancong, bukan sekedar piknik, tapi mudik dalam makna bertebaran di muka bumi
dalam rangka mencari karunia Allah `azza wa jalla, seperti dalam
firman-Nya:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي
الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Apabila telah ditunaikan
shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." (Q.S. Al-Jumu'ah
[62] : 10)
Selain itu dalam safar atau mudik banyak sekali tanda-tanda kekuasaan Allah `azza wa jalla yang
dapat kita renungkan. Manusia dengan beragam jenis, bahasa, selera, raut muka,
dan sebagainya. Siapakah yang mengatur itu semua? Bayangkan baru dalam jarak
antar kota saja, kita sudah mendapatkan perbedaan bahasa, dialek, selera
masakan, fisik, budaya, dan lain-lain. Bagaimana ketika kita melakukan
perjalanan lintas pulau atau bangsa. Pemandangan alam yang begitu indah,
gunung, pantai, kebun, dan langit yang semuanya akan mengundang decak kagum
kita dan menambahkan keyakinan kepada Pencipta-Nya yaitu Allah `azza wa
jalla. Ucapan subhanallah (Maha Suci Allah), ucapan yang tak bosan kita
panjatkan ketika menyaksikan betapa hebatnya kekuasaan Allah `azza wa jalla.
Belum lagi jika merenungkan kekuasaan yang nampak di ufuk atau alam
semesta, pastilah akan makin mengkokohkan kekaguman kita pada kekuasaan Allah `azza
wa jalla. Sebagaimana Firman-Nya:
سَنُرِيهِمْ
آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ
الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
"Kami akan tunjukkan
kepada mereka tanda-tanda kebesaran Kami, di segenap penjuru dan pada diri
mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an ini adalah benar.
Tidak cukuplah bagi kamu bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu."
(Q.S. Fushshilat [41] : 53)
Hal-hal tersebut diatas adalah strategi
agar safar atau mudik yang kita lalui terasa menyenangkan, penuh keberkahan,
dan bernilai ibadah, tidak terasa melelahkan dan membosankan, serta dapat
tergolong sebagai Ulul Albab. Sebagaimana Firman Allah:
إِنَّ فِي خَلْقِ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي
الْأَلْبَابِ(190)الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ
هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(191)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.
Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S. Ali Imran 190-191).
Itulah beberapa hikmah safar atau mudik yang dapat
kita petik dan renungkan. Hikmah ini akan kita peroleh
manakala safar yang kita lakukan bukan untuk bermaksiat, melainkan safar yang
mubah dan disertai dengan niat untuk mendapatkan karunia dan keridhaan Allah `azza
wa jalla. Semoga bermanfaat! (Aziz)
0 komentar :
Posting Komentar