AIC(JKT)
Sepuluh tahun
aku mengenalmu, saat takdir mempertemukan kita di sebuah gubuk santri dengan
suasana yang masih asri. Sejak saat itu aku jatuh hati padamu, aku terperangkap
oleh pesonamu hingga aku memutuskan untuk hidup bersama dalam satu tenda
denganmu.
Rutinitas sebagai santri tidak pernah terasa membosankan. Pendampinganmu
memberiku alasan untuk bangun di pagi hari sebelum kemudian berjuang lagi
Kitab Kuning, Namamu Tetap Kuning Meski
Kau Tak Kuning Lagi.
Sebuah kitab
warisan para ulama salaf yang ditulis tanpa harakat. Entah sengaja atau memang
kebingungan mau dikasih harakat apa. Tapi apapun alasannya, kitab kuning telah
memiliki tempat tersendiri di hati para santri, dan hanya merekalah yang bisa
mengerti, bahkan telah dijadikan ajang perlombaan oleh beberapa lembaga dan
organisasi.
Pada awalnya
kitab-kitab tersebut dicetak dengan kertas berwana kuning, itu sebabnya
dinamakan kitab kuning. Namun saat ini banyak kita temui kitab-kitab klasik
yang dicetak dengan kertas putih. Namun apapun warna kertasnya, kitab kuning
tetaplah kitab kuning.
Nahwu
Sharaf Adalah Ilmu Alat
Tadinya
aku bingung, kenapa para santri bisa membaca kitab segundul itu. Mungin mereka
ngarang, atau mungkin mereka dukun yang bisa menebak ini dan itu. Ternyata
tidak, setelah saya selidiki lebih mendalam, mereka memiliki ilmu khusus yang
tidak pernah mereka dapatkan dibangku
sekolah. “Nahwu dan Sharaf” atau yang sering dikenal dengan nama ilmu alat
adalah dua ilmu yang tidak dapat dipisahkan. Beda banget sama aku dan kamu, dua
insan yang tidak dapat disatukan.(ngenesttt)
Nahwu
adalah ilmu yang mempelajari bagaimana ending sebuah
hubungan, akhir sebuah kalimat, yang kadang dibaca A, I, U atau dibaca
sukun. Sedangkan sharaf membahas tentang perubahan kalimat, keduanya
benar-benar saling melengkapi. So sweet banget. Dua ilmu tersebut menggiringku
untuk masuk di pendidikan bertaraf internasional akhirat
yang disebut dengan pondok pesantren. Buku karangan KH. Mokhtar Anwar,
terjemahan matan jurumiyah dan imrity yang disertai penjelasannya, adalah buku
tidak kuning yang pertama kali memperkenalkan aku dengan ilmu nahwu.
Memahamimu
Tidak Semudah Membalikkan Telapak Tangan, Apalagi Telapak Tangannya Mantan
Tak semudah
yang aku bayangkan, ilmu nahwu menawarkan sejuta keunikan yang sulit untuk aku
pahami. Mempelajari ilmu nahwu tidak semudah membalikkan telapak tangan, Apalagi telapak tangannya mantan.
Sebelumnya,
aku mengira bahwa mempelajari tata cara membaca kitab gundul bukan gundul- gundul pacul cukup
dengan mengkhatamkan kitab jurumiyah. Ternyata tidak sesimpel itu. diatas jurumiyah
masih ada imrity, disusul dengan mutammimah dan alfiyah kok kayak nama tetangga aku sumua Yaa bener banget, kalian pasti
punya temen yang namanya sama kayak nama kitab.
Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar, semenjak aku
meninggalkan bangku SMP hingga kini usiaku tak muda lagi. Saat pertanyaan kapan
nikah lebih menghantui dari pada nadzom alfiyah, aku belum juga mampu memberi nafkah harokat pada kegundulanmu. Maafkan aku, tak
mampu memahamimu.
Tak jarang
pak Kyai menegurku karena aku salah mengartikanmu atau tak peka dengan kode-kodemu.
Namun hal itu tak membuatku baper apalagi mager. Aku tetap berjuang untukmu. Mungkin
tidak akan menjadi pertanyaan kubur, tapi mungkin menjadi pertanyaan calon
mertua sebagai syarat mempersunting putrinya, kitab apa yang bisa kau baca ??
Bukan berarti aku lelah dan berpindah ke cinta
yang lebih indah. Namun aku tergoda dengan rayuan manis internet, aku jatuh
cinta padanya. Sebuah kisah tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Tak seharusnya aku mengenalnya secepat ini dan
meninggalkanmu begitu saja. (Rumadie)
5 komentar :
Ngocol abis...isi hati banyak santri kyk a
Isi hati para santri yg jarang ngaji, hehe
Selingannya itu lho, nunjukin banget klo penulisnya lagy jomless (jomblo hopeless) wkwkwk
Selingannya itu lho, nunjukin banget klo penulisnya lagy jomless (jomblo hopeless) wkwkwk
Yah kali aja ada yg perhatian haha
Posting Komentar